Namanya Fikri. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Lulusan kampus swasta dengan biaya dari hasil jual sawah peninggalan kakek. Sejak kecil, Fikri memang disayang—bukan karena dia istimewa, tapi karena sejak bayi tubuhnya lemah, sering sakit-sakitan. Ibunya, Bu Siti, rela bolak-balik rumah sakit hanya demi melihat anaknya bisa tertawa tanpa batuk. Ayahnya, Pak Maman, bekerja serabutan sejak PHK sepuluh tahun lalu.
Fikri akhirnya lulus kuliah, dan seperti anak muda lainnya, ia ingin "balas dendam hidup" setelah sekian tahun merasa susah. Belum genap dua bulan kerja di agensi digital freelance, ia langsung kredit HP flagship dan motor baru. Padahal status kerjanya masih kontrak dan tidak ada jaminan bulan depan tetap digaji.
Ibu: "Fikri... uang bulan ini, bisa bantu beli gas? Udah tiga hari kita masak pakai kayu bakar di belakang."
Fikri: "Bu, jangan dulu minta uang lah, aku juga lagi banyak bayar cicilan. Masa baru kerja udah dimintain mulu..."
Setiap malam, Bu Siti termenung di dapur. Sementara Fikri sibuk update story, pamer lifestyle. Nongkrong di coffee shop, beli sneakers branded, ikut workshop motivasi yang mahal.
Ayah: "Ri... kamu inget gak, dulu Ibu pernah jual cincin kawin cuma buat kamu bisa bayar semesteran?"
Fikri: "Ya udah itu kan dulu. Sekarang kan aku udah kerja. Aku juga punya keinginan, Yah."
Hari demi hari berganti. Bu Siti mulai sering batuk, tapi tak pernah mau ke dokter karena takut mengganggu “anak bungsu kesayangannya” yang sedang “sibuk membangun masa depan.” Padahal, dia hanya ingin dibelikan vitamin atau sekadar diantar ke Puskesmas.
Fikri tak sadar, bahwa semua yang ia beli tak menghapus luka di hati orang tuanya. Ia terlalu fokus pada pencitraan, hingga lupa bahwa rumahnya sendiri mulai retak karena egonya. Bahkan kakak-kakaknya mulai menjauh karena merasa Fikri tak punya rasa terima kasih.
Kakak: "Lu tuh bukan anak kecil lagi, Fik. Kalau lu terus begini, ntar nyesel. Tapi kayaknya... lu belum cukup dewasa buat ngerti arti berbakti."
Waktu terus berlalu. Fikri belum juga tobat. Bahkan ketika Bu Siti jatuh pingsan di dapur, ia tidak ada di rumah. Ia sedang staycation di Bandung demi "healing" dari tekanan kerja yang katanya berat. Sementara ayahnya meminjam uang tetangga untuk membawa istrinya ke rumah sakit.
Dan hingga kini, Fikri belum pulang. Ia hanya mengirim pesan pendek: "Nanti aku transfer, Yah." Tapi uang tak pernah datang. Yang datang hanya luka dan kecewa yang makin dalam.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, dan meminta sesuatu yang bukan haknya, serta membunuh anak perempuan karena takut miskin.”
(HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Dan juga:
“Ridha Allah tergantung kepada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
(HR. Tirmidzi no. 1899, shahih)
Renungan: Jangan tunggu orang tuamu meninggal dulu baru kamu sadar. Jangan sampai doa mereka berubah dari berkah jadi keluh. Dunia ini fana, dan tak ada harta yang bisa menebus air mata seorang ibu yang kecewa. Jika kamu masih bisa menatap wajah orang tuamu hari ini, lakukan sesuatu. Sekecil apa pun. Karena besok, belum tentu mereka masih ada.